Waspadalah!


Waspadalah!


Umat Hindu di Bali nyaris setiap saat diingatkan kalau musuh-musuh kita, bukan saja sudah sangat dekat, namun tidaklah berada di luar sana. Mereka sebenarnya justru bersemayam di dalam diri sendiri. Inilah yang amat perlu diwaspadai. Mewaspadainyalah yang akan melahirkan budaya hidup bermawas-diri. Yang bermawas-diri, akan selalu mewaspadai rongrongan dan setiap gerak-gerik musuh-musuh didalam dirinya. Dengan mawas-dirilah seseorang mewaspadai semua itu.

Seperti juga di dalam mewaspadai yang di luar, kita sama sekali tak boleh lengah. Lengah berarti tiadanya kewaspadaan. Kelengahan ini sendiri, bukan saja merupakan sejenis penyakit mental, namun juga ia bisa menjadi musuh yang setiap saat bisa mencelakakan Anda. Setidak-tidaknya, tiadanya kewaspadaan berarti membiarkan musuh-musuh yang terlanjur menyusup ke dalam untuk mengambil alih kendali. Oleh karenanya perhatian mesti setiap saat siap untuk diarahkan ke dalam, sementara kita tetap punya cukup kewaspadaan terhadap dunia luar.

Karena kita telah terbiasa mengarahkan perhatian ke luar, dan umumnya tidak terlatih mengarahkan perhatian ke dalam, makanya kita seringkali kecolongan. Disinilah umumnya kelemahan kita. Sadar akan kelemahan ini dan tak mau terus-menerus kecolongan, tentunya kita tak akan enggan melatih perhatian.

Latihlah Perhatian!

Anda tentu tahu bahwa kalau Anda telah terlatih dalam mengerjakan sesuatu, Anda akan mengerjakan sesuatu itu dengan mudah. Jauh lebih mudah, lebih terampil dibanding mereka yang kurang atau belum terlatih. Hasilnyapun dapat diharapkan lebih baik. Demikian pula dengan “keterampilan mental” ini.

Apapun bila baru untuk pertama kali kita kerjakan terasa sulit. Jangankan yang baru untuk pertama kalinya kita kerjakan, sesuatu yang sebetulnya sudah sering dikerjakan saja, akan tetapi sudah cukup lama ditinggalkan, akan terasa sulit ketika harus mengerjakannya kembali. Ini wajar. Tak usah berkecil hati karenanya.

Kesulitan lebih terasa lagi disini karena sebelumnya kita justru telah terbiasa dengan yang sebaliknya, telah terbiasa mengarahkan perhatian ke luar dan ke luar lagi. Sehingga dapat dimaklumi kalau banyak yang menjadi frustasi dan mengurungkan niatnya untuk berlatih, justru pada fase-fase awal latihan. Adanya kecenderungan —yang merupakan kecenderungan nyaris semua orang— ini perlu kita waspadai sejak awal.



Awalilah pada Nafas .... disini dan saat ini juga!


Bagusnya, betapa sulitpun sesuatu buat dikerjakan pasti ada cara pemecahannya, selama ada niat untuk itu. Oleh karenanya, tidaklah sulit untuk diterima ungkapan: “Tak ada persoalan di dunia ini yang tak ada solusinya”. Persoalannya buat kita  justru terletak pada ada atau tidaknya niat untuk menemukan solusinya bukan?

Disadari atau tidak, bernafas adalah sesuatu aktifitas biologis yang selalu kita lakukan. Bagusnya, tidak seperti denyut jantung yang nyaris sepenuhnya ada di luar kendali kita, nafas bisa kita kendalikan. Tidak seperti mendenyutkan jantung yang otomatis itu, kita bisa menarik, menahan dan menghembuskan nafas dengan sengaja, dengan penuh perhatian, dengan penuh kewaspadaan.

Apa artinya semua ini?

Bukan saja ia bisa kita jadikan objek latihan tanpa perlu mencari-cari alat bantu luar lagi –seperti tasbih, bola-bola kristal, batu, atau sejenisnya sehingga menjolok perhatian, ia juga bisa Anda temui dan gunakan dimanapun dan kapanpun Anda mau. Ia selalu siap bagi Anda. Keuntungannya lagi —dibanding dengan alat bantu lainnya—nafas melekat pada diri kita, dengan tubuh kita. Ia lebih dekat ketimbang alat bantu luar manapun yang bisa Anda peroleh. Mengawali latihan Anda dengan mengarahkan perhatian pada keluar-masuknya nafas, tak pelak lagi merupakan pengawalan yang paling cerdas yang mungkin Anda lakukan.

Awalilah disini ... saat ini juga!

Tidak seperti makan, minum, tidur, atau bahkan buang-air sekalipun, selama berhubungan dengan nafas, Anda tak bisa berkata: “Ah saya tidak perlu bernafas sekarang. Terlalu sibuk untuk itu. Nanti sajalah saat senggang”. Anda tidak bisa berkata seperti itu. Sibuk atau senggang, dikehendaki atau tidak, disengaja atau tidak, kita selalu bernafas. Bernafas bukanlah sesuatu yang bisa kita tunda-tunda. Oleh karenanya, mengawali latihan dengan mengarahkan perhatian pada keluar-masuknya nafas dapat dilakukan disini dan saat ini juga.

Bila Anda menemukan kesulitan untuk hanya memperhatikan keluar-masuknya nafas, Anda bisa menambahkan menahan nafas sesaat pada setiap selesai menarik nafas, atau sebelum menghembuskan nafas. Kita tak akan kuat menahannya lama-lama, sehingga mau-tak-mau perhatian yang tadinya sempat berkeliaran dengan sendirinya akan tertarik kembali ke nafas. Trik ini bisa Anda lakukan berkali-kali setiap Anda sadar kalau perhatian Anda mulai menyimpang lagi. Semakin Anda terlatih, semakin cepat Anda sadar kalau perhatian Anda mulai menyimpang. Andapun bisa menemukan trik-trik lain yang Anda anggap paling ampuh buat Anda.

Jadi sekali lagi, mengawali latihan dengan mengarahkan perhatian pada keluar-masuknya nafas dapat dilakukan disini dan saat ini juga. Pada saatnya, sesuai dengan perkembangan latihan Anda, seperti juga bernafas, Andapun akan secara otomatis waspada terhadap setiap gejolak pikiran dan gelora perasaan yang terjadi di benak Anda. Segala bentuk pemikiran kotor, tak layak, jahat, dan segala bentuk perasaan negatif yang hanya mengganggu kejernihan dan ketentraman Anda, termasuk mood yang tidak kondusif yang seringkali tiba-tiba muncul begitu saja di dalam, akan Anda waspadai.


Kewaspadaan Menyeluruh.


Sampai disini, mungkin Anda bertanya: “Kalau kita hanya memperhatikan ke dalam, bagaimana dengan perhatian terhadap dunia luar yang juga mendesak untuk diperhatikan?”. Untuk ini ada sebuah kisah kuno yang sangat bagus dan mengena, begini:

Pada abad ke-4 SM, atau kira-kira satu abad setelah Buddha Gotama parinirwana, di India hiduplah seorang pertapa bernama Rsi Gotama. Saking khusuknya beliau bertapa, melatih mengarahkan perhatian ke dalam diri ini, ketika beliau sedang berjalan, beliau terperosok masuk ke dalam sebuah sumur tua. Nah, agar kecelakaan serupa tak terulang kembali, dan oleh karena Hyang Widdhi sangat berkenan dengan bentuk ‘persembahan’ kepada-Nya ini, Beliau kemudian menganugerahkan juga dua mata di kedua kakinya.

Sejak kejadian itu pulalah beliau dijuluki juga Akshapada—ia yang juga punya mata di kedua kakinya. Dan karena keteguhannya menjalani tapanya itu, orang-orang juga menjuluki beliau Dirghatapas —sang pertapa tangguh.

Melalui susastra spiritual-filosofisnya, Nyaya Sutra, umat dan pemerhati Hindu mengenal beliau sebagai orang suci yang memperkenalkan Nyaya Darshana atau aliran filsafat Nyaya kepada umat manusia. Aliran filsafat ini merupakan dasar dari semua ajaran filsafat; ia juga merupakan pengantar dari semua pembelajaran ilmu filsafat Hindu lainnya.

Sungguh luarbiasa bukan? Namun jangan salah sangka. Saya tidak menganjurkan Anda untuk menjadi seorang pertapa, atau seorang filsuf, ataupun orang suci; apalagi untuk bertingkah sok suci, kalaupun itu selalu mungkin bagi mereka yang benar-benar telah bisa mawas-diri dengan baik. Saya hanya mengingatkan bahwa tidaklah perlu terlalu merisaukan hal itu. Kita tak perlu risau kalau nantinya kita menjadi acuh-tak-acuh, tanpa menaruh kepedulian sedikitpun terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan kita, karena sebetulnya kita telah terbiasa berbuat demikian. Itu telah menjadi kebiasaan kita sampai seusia ini. Bagi kita, itu akan otomatis saja bekerjanya. Malahan, dengan menambahkan keterampilan mental ini, kita jadi punya keterampilan yang lengkap, kita jadi punya kewaspadaan menyeluruh. Penganugerahan dua mata tambahan pada kedua kaki Sang Rsi hanyalah cara pengungkapan lain untuk menyatakan bahwa Tuhan akan menuntun setiap gerak dan langkah dari mereka yang mawas-diri.

https://groups.yahoo.com/neo/groups/BeCeKa/conversations/messages/27962.

Waspadalah! Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar